Negeri Galuh Pakuan sedang dilanda
cobaan berat. Musim kemarau yang berkepanjangan menimbulkan kesengsaraan
rakyat. Wabah penyakit dan tindak kriminal meningkat. Sementara para punggawa
dan hulubalang belum mampu menghadapinya. Arya Munding Wilis yang menjadi
Adipati kala itu memang sedang diuji.
Belum
selesai mengatasi kesulitan yang satu timbul masalah y
ang lain. dalam kesedihan menghadapi negeri yang sedang terancam itu, isterinya yang sedang hamil menginginkan daging kijang berkaki putih. Demi cintanya kepada Sang isteri, berangkatlah Sang Adipati Munding Wilis dengan Kuda Dawuk Ruyung kesayangannya. Hanya ditemani dua pengawalnya, berhari-hari Sang Adipati tak mengenal lelah dalam mencari buruannya itu. Namun sudah sampai sebulan belum juga nampak hasilnya.
ang lain. dalam kesedihan menghadapi negeri yang sedang terancam itu, isterinya yang sedang hamil menginginkan daging kijang berkaki putih. Demi cintanya kepada Sang isteri, berangkatlah Sang Adipati Munding Wilis dengan Kuda Dawuk Ruyung kesayangannya. Hanya ditemani dua pengawalnya, berhari-hari Sang Adipati tak mengenal lelah dalam mencari buruannya itu. Namun sudah sampai sebulan belum juga nampak hasilnya.
Ketika
mereka berburu kearah timur menyusuri Sungai Citandui sampailah Sang Adipati
beserta dua pengawalnya di suatu grumbul. Ternyata Adipati beserta dua
pengawalnya itu sampai di sebuah perkampungan para brandal yang sering mengacau
di seluruh kadipatennya. Di Grumbul Gunung Mruyung tersebut sang adipati
terpojok dan dirampok oleh dedengkot grumbul itu yaitu Abulawang. Seluruh bawaan
bahkan kuda Sang Adipati dirampas dan sang dedengkot mengancam akan merampok
dan menghancurkan kadipatennya. Adipati yang sedang kecewa karena tidak
mendapat buruannya pulang dengan kesedihan yang lebi mendalam ke kadipatennya.
Sampainya di
kadipaten, kesedihan sang Adipati terobati karena putera yang ditungu tungu
sudah lahir kedunia. Semakin gembiralah ia setelah ditunjukkan adanya tanda
hitam di lengan kiri bayi itu, yang konon merupakan “toh wisnu”. Artinya bayi
ini kelak akan menjadi seorang yang besar yang berbudi luhur dan bijaksana.
Ternyata
kegembiraan di Kadipaten itu tak berlangsung lama. Pada malam keempat kelahiran
sang jabang bayi, perampok gerombolan dari Gunung Mruyung dedengkot Abulawang
benar-benar datang dan menghancurkan Kadipaten. Prajurit dan pengawal tidak
bisa melawan gerombolan tersebut, semua barang dirampok dan Kadipaten dibakar.
Untunglah
sang Adipati dan Gusti putri selamat. Namun nasib bayi yang ditunggui oleh dua
orang emban tidak demikian. Bayi itu dibawa oleh salah seorang perampok ke
Gunung Mruyung tempat markas mereka. Adipati dan gusti putri lemas, bahkan
gusti putri pingsan.
Suatu
Ketika, Adipati Munding Wilis dan istrinya menyamar sebagai petani, pergi
meninggalkan Kadipaten. Semula mereka bertekad ke Gunung Mruyung, tempat
perkampungan para perampok untuk mencari bayinya. Namun niatnya
diurungkan karena terlalu bahaya, merekapun berjalan ke arah lain.
Bayi yang
masih merah itu, sudah sampai di Gunung Mruyung. Bertahun-tahun bayi tersebut
tumbuh menjadi pemuda gagah dan tampan, sifatnya baik berbeda dengan orang tua
angkatnya yang perampok. Pemuda itu dinamai Jaka Mruyung. Karena tidak senang
dengan sikap dan tingkah laku orang tuanya maka dia pergi meninggalkan Gunung
Mruyung.
Jaka Mruyung
pergi dengan Kuda Dawuk Ruyung, yang dimiliki orang tua angkatnya, kuda
tersebut sebenarnya adalah kuda milik ayah kandungya Adipati Munding Wilis.
Jaka Mruyung tiba disuatu kampung di kawasan “Dayeuhluhur” dan bertemu seorang
kakek. Ternyata kakek tersebut bukan kakek sembarangan. Dia adalah Ki Meranggi,
seorang mantan prajurit sakti Kerajaan Majapahit dan kini menjadi seorang
Mranggi (pembuat rangka keris). Jaka mruyung mengabdi di rumah Ki Mranggi, dan
selama pengabdiannya dia banyak mendapat pengalaman yaitu baca, tulis, membuat
keris dan ilmu keprajuritan serta kedigdayaan. Semua ilmu tersebut dikuasainya
dalam waktu empat tahun. Pada tahun ke enam, Jaka Mruyung seolah mendapat ilham
agar meneruskan perjalan ke timur dan disana dia menemukan hutan yang ditumbuhi
pohon Pakis Aji dan kelak hutan tersebut dibabat dan dijadikan perkampungan.
Jaka Mruyung pun pamit dan berpesan pada Ki Mranggi agar pedukuhan ini
sepeninggalnya kelak diberi nama Dukuh Penulisan karena ditempat inilah dia
belajar menulis.
Setelah
menempuh perjalanan jauh, sampailah dia di perbatasan Kadipaten Kutanegara.
Ditempat itu iapun melepas lelahnya sambil memuji keagungan Tuhan ia
menyaksikan keindahan alam di sekitarnya. Si Dawuk Ruyung, kudanya yang sudah
tua itu makan rumput sekenyang-kenyangnya. Jaka Mruyung memandang rumput hijau
itu bagaikan permadani yang Gumelar (digelar dalam bahasa Jawa). Tempat itu
kemudian nantinya disebut Desa Gumelar. Di tempat ini dia bertemu dengan pemuda
dari Dukuh Cilangkap. Dari pemuda ini dia akhirnya tahu letak Hutan Pakis Aji yang
ada dalam ilhamnya. Setelah dia melakukan perjalanan dan singgah sejenak di
Dukuh Cilangkap, dia terus melanjutkan perjalanan menuju Hutan Pakis Aji. Hutan
tersebut ternyata berada di Selatan Kutanegara dan sebelah timur Dukuh
Cilangkap.
Sementara
itu, perjalanan Adipati Munding Wilis dan istrinya yang menyamar menjadi Ki
Sandi dan Ni Sandi tiba di Dukuh Penulisan, Daerah Daeyuhluhur . Kebetulan
keduanya singgah pula di rumah Ki Mranggi. Mereka bertukar pengalaman. Alangkah
gembiranya kedua tamu tersebut demi mendengar cerita Ki Mranggi, mereka yakin
apa yang diceritakan Ki Mranggi itu ciri-ciri anaknya( dengan Toh Wisnu di
Tanggannya). Mereka semakin gembira karena Ki Mranggi juga mengatakan kemana
arah peginya anak mereka Jaka Mruyung. Semenjak Pergi dari Negerinya Galuh
Pakuan, Adipati Mundig Wilis dan istrinya memang selalu bedoa agar bisa
dipertemukan dengan anaknya. Dan memang sudah digariskan bahwa mereka berdua
pun sampai di Dukuh Cilangkap dan bertemu dengan orang tua Tlangkas ,pemuda
yang pernah memberikan petunjuk kepada Jaka Mruyung.
Ki Sandi
alias Adipati Wilis pun tambah gembira karena harapanya semakin dekat terkabul.
Sedang Jaka Mruyung kini sudah sampai di kaki bukit sebelah barat Hutan Pakis
Aji. Di situ ia terus ke selatan dan menyebarangi sungai yang airnya
Racak-racak, sungai itu kemudian dinamai Kali Racak. Di pinggir bukit itu ia
melihat pohon yang berbuah sangat banyak, lalu ia bertanya pada orang yang
lewat, Apa nama buah itu, orang itu malah menjawab dengn basa sunda, “Ie mah
Gondangamis” artinya ini buah gondang yang manis. Kelak tempat itu menjadi
Grumbul Gondangamis.
Dari situ
dia terus menyusuri pinggiran hutan ke timur, ternyata tempat yang
disinggahinya banyak dihuni burung Jalak. Tempat itu nantinya diberi nama Pejalakan.
Lalu dia sampai dibelokan kali datar, dia menemukan sebuah kedung, diatasnya
banyak burung serwiti, Kedung itu kemudian di beri nama Kedung Serwiti. Setelah
mengelilingi Hutan Pakis aji, sampailah dia dipinggiran utara, ia melihat
orang-orang sedang membuat tambak ikan. Jaka Mruyung segera meminta bantuan
orang-orang untuk bersama-sama membabat hutan Pakis Aji. Kelak Dusun itu
menjadi Dusun Tambakan.
Di tengah
hutan muncul ular raksasa, namun berhasil dibunuh oleh Jaka Mruyung dan
orang-orangnya dan dibakar. Namun akibatnya hutan Pakis aji menjadi terbakar,
kebakaran begitu hebatnya sehingga membuat resah kadipaten Kutanegara. Jaka
Mruyung sang biang keladi pun ditangkap dan dihukum. Pada masa hukumannya itu
ternyata Jaka Mruyung yang tampan, sopan dan baik hati di sukai oleh putri
kedua sang Adipati yaitu Putri Pandanayu. Setelah beberapa lama,Jaka Mruyung
pun dibebaskan.
Kemudian dia
mengikuti sayembara di Kadipaten Kutanegara tersebut. Sayembara itu untuk
mencari Senopati Utama yang baru. Jaka mruyung ikut sayembara, dengan
kesaktiannya dia memenangkan banyak pertarungan dan pada akhirnya dia harus
melawan musuh terkuat yaitu duta dari Kadipaten Kutaliman, bernaman Ki Kentol.
Perseteruan antara Jaka Mruyung dan Ki Kentol yang berlarut-larut, nantinya
menjadi momok yaitu siapa saja Pejabat yang datang ke Kutaliman pasti akan
lengser. Jaka Mruyung yang memenangkan sayembara dijadikan Senopati Utama dan
dinikahkan dengan putri kedua Adipati yaitu Pandanayu.
Berita
tersebut ahirnya sampai ke Tlangkas dan orang tuanya dan kemudian sampai ke
telinga tamu mereka Ki Sandi yang tak lain adalah Adipati Munding Wilis ayah
Jaka MRuyung, Raja atau Adipati Besar dari Galuh Pakuan. Adipati lalu membuka
jati dirinya dan menemui Adipati Kutanegara. Betapa senangnya Adipati
Kutanegara, ternyata calon mantunya adalah anak Adipati Besar dari Galuh
Pakuan.
Haru dan
Bahagia pun berkecamuk diantara mereka. Acara Pernikahan segera dilakukan,
namun di saat berlangsungnya pernikahan terjadi kehebohan. Hal ini kaerna putri
pertama Adipati Kutanegara yaitu Dewi Pandansari minggat, karena malu telah
dilangkahi. Dia bertapa disebuah kali, dia bertapa merendam, yang tentu saja
tubuhnya yang indah itu tidak ditutupi oleh apapun. Tidak heran banyak lelaki
berdatangan ingin melihat. Putri lalu berkata pada biyung embannya agar
disampaikan ke ayahnya, supaya Kali tersebut dinamai Kali Luwih Laki, yang
kemudian berubah menjadi Kali Wilaki. Dewi Pandansari itupun meninggal dikali
dan dikuburkan disawah pinggir sungai tersebut. Kuburan itu terkenal dengan
sebutan Kuburan Pandansari.
Bertahun-tahun
dari peristiwa itu, Adipati Kutanegara, Adipati Nglangak itupun semakin lanjut
usia. Jaka mruyung pun menggantikannya dan diangkat sebagai adipati Kutanegara.
Namun Jaka Mruyung yang tinggal di Kadipaten Kutanegara itu tidak betah di
Kadipaten Kutanegara. Dia Menginginkan pindah, lalu dia pun teringat ilham yang
diperolehnya saat dia muda. Dia kemudian pindah ke hutan yang telah ia babat
yaitu Hutan Pakis Aji. Maka ibukota Kadipaten Kutanegara dipindah ke Hutan
Pakis Aji dan disebut AJIBARANG sehingga kadipaten berubah menjadi Kadipaten
AJIBARANG.
Sumber :
BANYUMAS WISATA DAN BUDAYA, karya: M. KODERI, cetakan 1991
Comments
Post a Comment