PIDATO KENEGARAAN PRESIDEN RI DI DEPAN SIDANG DEWAN PERWAKILAN RAKYAT 16 AGUSTUS 2000

Kamis, 17 Agustus 2000 
PIDATO KENEGARAAN PRESIDEN RI
 
DI DEPAN SIDANG DEWAN PERWAKILAN RAKYAT 16 AGUSTUS 2000
 


KH ABDURRAHMAN WAHID
 
Presiden Republik Indonesia
.
Saudara Ketua, para Wakil Ketua dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat, para hadirin yang saya muliakan, dan seluruh rakyat Indonesia yang saya cintai, di mana pun saudara-saudara berada.
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Salah sejahtera bagi kita semua.
Alhamdulillah, hari ini kita kembali menyongsong Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang akan kita peringati besok tanggal 17 Agustus 2000. Konvensi ketatanegaraan yang kita pelihara selama ini, dengan Presiden menyampaikan pidato di hadapan sidang pleno DPR-RI yang terhormat pada setiap tanggal 16 Agustus, adalah sesuatu yang baik. Kesempatan ini bisa kita gunakan bersama untuk melakukan refleksi atas perjalanan kita sebagai bangsa. Besok, usia kemerdekaan kita akan mencapai 55 tahun, tetapi usia kebangsaan Indonesia jauh lebih tua dari itu. 
Kebangsaan Indonesia telah lahir dan berproses mematangkan kehadirannya di bumi Nusantara ini jauh sebelum proklamasi kemerdekaan dilakukan. Kelahiran itu berproses dari sejak bangkitnya kesadaran eksistensial para pendahulu kita untuk membentuk komunitas politik yang secara hakiki menolak kehadiran bangsa lain yang menjajah wilayah dan masyarakat Nusantara. Proses penghayatan yang terus meluas dan menyebar itulah yang kemudian membentuk kesadaran kolektif kita sebagai suatu bangsa. Dari sini terbukti bahwa kebangsaan atau nasionalisme bukanlah sesuatu yang terbentuk dan lahir secara alamiah, tetapi adalah suatu produk dari pertumbuhan sosial dan intelektual suatu masyarakat dalam suatu tahapan sejarah tertentu.
Para pendiri republik ini sepakat meletakkan fondasi dari ikatan kebangsaan Indonesia pada kesamaan nasib dan kesamaan cita-cita. Dengan nasib yang sama, terjalinlah ikatan emosional dan moral yang kuat, yang bisa kita sebut persaudaraan sebagai bangsa. Dengan cita-cita yang sama, terbentuklah solidaritas untuk menggalang kekuatan mengejar kemajuan, mendirikan negara, membentuk pemerintahan, menegakkan hukum, dan mengembangkan kehidupan di berbagai bidang. 
Proklamasi itu sendiri kita maknai sebagai puncak dari kesepakatan bangsa Indonesia untuk mewadahi kehidupan bersamanya melalui pembentuk sebuah negara kebangsaan yang merdeka, berdaulat, dan demokratis. Para pendiri negara ini sejak awal telah bersepakat bahwa negara kebangsaan Indonesia yang demokratis itu bukanlah milik dari sekelompok orang, tidak terkecuali kelompok mayoritas, baik dalam artian suku, agama, maupun kelas dan kasta. Negara Republik ini adalah milik bangsa Indonesia seluruhnya. 
Saudara Ketua, para Wakil Ketua, anggota DPR-RI yang terhormat, dan hadirin yang saya muliakan. 
Hari ini sangat layak bagi kita sekalian untuk berbicara banyak tentang nilai-nilai kebangsaan, kemerdekaan, dan demokrasi, karena nilai-nilai tersebut akan terus menyertai perjalanan kita ke depan. Ketiganya terjalin dalam hubungan persenyawaan yang sangat kuat. Kita tidak mungkin mengembangkan demokrasi dan memberi makna pada kemerdekaan di luar bingkai kebangsaan. Demokrasi yang memberi legitimasi pada kedaulatan rakyat tidak mungkin diekspresikan secara efektif di luar formasi kebangsaan. Kedua nilai itu, kebangsaan dan demokrasi, tidak bisa hidup sempurna dalam keterpisahan. Kebangsaan tanpa demokrasi akan kehilangan dinamika hidup, dan demokrasi tanpa nasionalisme akan menjadi liar. 
Dalam pengalaman sejarah kita sendiri, sangat jelas bahwa semangat dan citarasa kebangsaan itulah yang mengantarkan bangsa ini pada kemerdekaan, melalui mana kita memperoleh kesempatan untuk membangun sebuah sistem politik yang demokratis. Kalau pertalian nilai-nilai ini saya angkat kembali hari ini, tidak lain maksudnya agar kita, bangsa Indonesia, mau memahami bahwa iklim kebebasan politik yang kini kita bangun bukanlah sesuatu yang terpisah dari komitmen kebangsaan yang diletakkan oleh para pendiri republik ini. Dalam dua tahun terakhir ini, bangsa Indonesia memang mulai menemukan kembali hak-hak demokrasinya. Ini tampak jelas dalam hal kebebasan berekspresi, baik lisan maupun tulisan. 
Hadirnya begitu banyak institusi, asosiasi, dan organisasi di luar formasi negara dalam dua tahun terakhir ini merupakan pertanda yang positif. Terutama jika kiprah mereka mengarah pada terbentuknya masyarakat yang mampu menolong dirinya dan menyelesaikan masalah-masalahnya sendiri, masyarakat yang mandiri secara ekonomi dan secara intelektual, atau yang lazim disebut civil society. 
Tetapi, seperti yang telah saya katakan tadi, sebagaimana halnya dengan kebangsaan, demokrasi pun bukanlah sesuatu yang lahir secara alamiah. Kecanggihan kita dalam membangun demokrasi akan menentukan bukan saja kualitas demokrasi itu sendiri, tetapi juga kelangsungan hidupnya. Kalau atas nama demokrasi, kita secara sadar atau tidak, membenarkan atau membiarkan terjadinya tindak kekerasan dalam masyarakat, menjadikan sikap benci dan dendam sebagai instrumen untuk menyingkirkan lawan politik, atau mengeksploitasi kelalaian dan kesalahan pemerintah di masa lalu untuk memberi pembenaran pada gerakan separatisme, bisa dipastikan bahwa makna demokrasi sebagai proses rasional untuk menyelesaikan berbagai konflik akan sulit kita wujudkan. Semua ini bisa terjadi, kalau praktik demokrasi tidak dibingkai oleh semangat kebangsaan yang merupakan kesepakatan nilai untuk secara moral dan emosional bersatu dan merasa satu. 
Karena itu, upaya redefinisi, reorientasi dan reproduksi atas nilai-nilai kebangsaan dan demokrasi tersebut sangat kita perlukan. Kepeloporan para pemimpin politik dalam membangun kesadaran dan pemahaman masyarakat atas nilai demokrasi dan kebangsaan itu sangat diperlukan, agar makna kemerdekaan sebagai pembebasan lahir batin dari segala praktik kezaliman dapat lebih mewarnai kehidupan kita sehari-hari, baik di bidang politik, maupun sosial, ekonomi dan budaya. 
Hadirin yang berbahagia, 
Adalah sesuatu yang ironis kalau dalam suasana memperingati hari kemerdekaan kali ini, masih cukup banyak warga bangsa kita yang terpuruk dalam keprihatinan akibat belum merdeka dari rasa takut akan keselamatan diri dan keluarganya. Para pengungsi dari daerah-daerah konflik dan kerusuhan, mengalami hal ini dari hari ke hari. Kaum miskin di perkotaan pun belum sepenuhnya merdeka dari rasa takut tergusur dan terusir dari tempat tinggalnya, yang secara legal dan sosial mungkin memang tidak layak dipertahankan. Merdeka dari penderitaan berkepanjangan, masih belum pula dikecap oleh saudara-saudara kita yang berada dalam kondisi kemiskinan struktural. Kita menyadari bersama, bahwa pembangunan selama ini belum sepenuhnya mampu memberi kesejahteraan yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat. Kita pun belum berhasil mencabut akar-akar kemiskinan dan penderitaan yang tertanam di tengah-tengah masyarakat. Ini antara lain disebabkan karena kemiskinan sebagai fenomena multidimensional harus didekati secara holistik, dan membutuhkan keterlibatan semua pihak dalam penanggulangannya. Upaya ini mencakup penyediaan lapangan kerja yang seluas mungkin, peningkatan akses pelayanan kesehatan dan pendidikan, serta akses akan prasarana dasar yang layak dan terjangkau. 
Tantangan yang kita hadapi dalam menangani masalah kesejahteraan rakyat memang berat. Upaya memberdayakan masyarakat miskin itu harus dilakukan agar mereka lebih mampu mengatasi sendiri masalah-masalahnya. Untuk itu, kepada mereka perlu dibuka akses informasi, kebebasan berorganisasi dan kesempatan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang menyangkut dirinya sendiri. 
Transformasi dari ketergantungan menuju kemandirian ini yang perlu kita usahakan bersama. Pengalaman dalam menghadapi krisis ekonomi selama tiga tahun terakhir, menyadarkan kita betapa ketergantungan masyarakat yang demikian kuat kepada pemerintah telah melumpuhkan potensi kreativitas masyarakat untuk bangkit mengatasi krisis. 
Karena itu, pemerintah mempunyai komitmen tinggi untuk mengurangi dominasi perannya. Apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri tidak perlu lagi dilakukan oleh pemerintah, dan semua aparat pemerintah perlu meningkatkan kemampuannya untuk berfungsi sebagai fasilitator. Kita semua perlu menyadari betapa pentingnya membangun sebuah masyarakat yang bertumpu pada kemampuannya sendiri, bergantung pada inisiatifnya sendiri, dan percaya pada dirinya sendiri. 
Di berbagai lingkar kebudayaan dan kehidupan rakyat sehari-hari masyarakat kita, sesungguhnya masih terdapat banyak kearifan, ketetapan hati, serta semangat pantang menyerah dalam menghadapi kesulitan. Di tengah rakyat, kita masih bisa menemukan tenaga hidup yang sesungguhnya, yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara yang kita cintai ini. Karena itu, memang memprihatinkan bahwa setelah lebih dari 50 tahun merdeka, kita belum cukup sukses dalam menata hubungan antarkelompok, suku, ras, dan pemeluk agama. Patut disayangkan, bahwa darah masih mengalir, rasa dendam dan benci masih tertanam dalam hati sejumlah tertentu generasi penerus kemerdekaan, justru di saat rasa kebangsaan kita sedang teruji berat di tengah terpaan globalisasi. 
Maka, tugas kita ke depan adalah menata kembali hubungan antarkelompok dalam format yang lebih kreatif dan manusiawi. Kita perlu merumuskan sebuah agenda nasional untuk rekonsiliasi, dialog dan komunikasi, demi memulihkan hubungan antarwarga masyarakat di berbagai daerah. Kita juga perlu membangkitkan respons kultural terhadap macetnya komunikasi politik masyarakat kita di beberapa tempat. 
Walaupun disharmoni sosial masih terus berlangsung, terutama di wilayah Maluku dan Maluku Utara, tidak seyogianya kita berputus asa. Nilai-nilai budaya kita yang banyak mengandung kearifan untuk menghargai orang atau kelompok lain, belum punah. Perbedaan suku, agama, ras, ataupun golongan selama ini telah biasa kita lihat sebagai bagian asasi dari kemajemukan. Banyak di antara kita yang menyadari bahwa konflik yang terjadi itu bukanlah sesuatu yang asli. Ia merupakan produk dari tangan-tangan kotor yang dengan licik memanfaatkan kelengahan masyarakat terhadap nilai-nilai budayanya sendiri, akibat terjadinya pergesekan kepentingan yang akut dalam hubungan-hubungan sosial, politik dan ekonomi masyarakat setempat. Maka, kalau sikap dan relasi baru yang berlandaskan semangat persaudaraan sebagai bangsa dapat dibangun kembali, di mana setiap golongan dan orang per orang memperoleh penghargaan akan hak dan martabatnya, ada harapan konflik itu akan bisa diselesaikan. 
Pada saat yang sama, kita juga memerlukan keberanian untuk melakukan koreksi menyeluruh terhadap lahan-kesalahan bersama di masa lampau. Hanya dengan itu, kita bisa mengayunkan langkah dan mulai membangun masa depan baru secara bersama sebagai warga bangsa. Saya yakin bahwa moralitas budaya semacam inilah yang akan bisa menyelamatkan kita dari bahaya disintegrasi bangsa. 
Saudara Ketua, para Wakil Ketua, Anggota DPR-RI yang terhormat, dan hadirin yang saya hormati, 
Sejalan dengan semangat untuk menata kembli kehidupan berbangsa dan memperbaharui kembali kesepakatan-kesepakatan kita, di bidang ekonomi pun kita ditantang untuk membangun kembali tatanan perekonomian nasional. Krisis yang melanda telah merusak banyak sendi penting dari perekonomian nasional kita. Akibatnya, banyak bagian dari masyarakat kita yang belum pernah menikmati hasil pembangunan selama ini, bahkan makin menderita akibat krisis ekonomi. Untuk menata dan membangun kembali perekonomian setelah krisis itu, kita akan secara konsisten melandaskannya pada prinsip demokrasi ekonomi, yakni jalan menuju kemakmuran bagi semua orang. Upaya pemulihan ekonomi, dengan demikian, tidak hanya sekedar mengembalikan kinerja ekonomi dalam bentuk tercapainya pertumbuhan yang tinggi, namun yang tidak kalah pentingnya adalah menciptakan kebersamaan dan partisipasi rakyat secara nyata dalam proses pembangunan. Dengan cara itu, kita akan mewujudkan keadilan dan membuka kesempatan yang lebih luas bagi masyarakat untuk menikmati kemakmuran. 
Pembangunan kembali perekonomian kita ditujukan untuk menciptakan keseimbangan antara pertumbuhan dan keadilan, efisiensi dan pemberdayaan, efektivitas dan kualitas kehidupan. 
Pada saat yang sama, krisis yang telah menginjak tahun ketiga mengharuskan kita untuk melakukan berbagai kebijakan pemulihan yang sering menimbulkan dampak yang berat bagi kehidupan ekonomi dan sosial, serta peka secara politik. Empat pilar program pemulihan yang telah saya sampaikan dalam pidato di depan Sidang Tahunan MPR minggu yang lalu akan kita laksanakan, yakni: satu, menjaga stabilitas makro; dua, memperkuat dan membangun kembali institusi ekonomi; tiga, meneruskan kebijakan dan penyesuaian struktural; dan empat, melindungi kelompok miskin dan pemberdayaan ekonomi lemah. 
Landasan demokrasi ekonomi yang diartikan sebagai kemakmuran bagi semua, memiliki dua elemen penting, yakni kemakmuran dan kesempatan bagi seluruh warga masyarakat untuk menikmatinya. Kemakmuran yang 
dicapai semata-mata melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pasti tidak akan terjaga kelangsungannya. Ini terlihat dari pengalaman kita sendiri sepanjang krisis ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang menjadi landasan penciptaan kemakmuran, ternyata runtuh bersama faktor-faktor pendukungnya akibat goyahnya stabilitas makro, rapuhnya institusi akibat pengelolaan yang buruk (bad governance), distorsi kebijakan struktural, dan lemahnya kualitas sumber daya manusia akibat kemiskinan dan tidak adanya akses terhadap pendidikan, teknologi, informasi dan kesehatan. 
Untuk menciptakan kemakmuran, pertumbuhan ekonomi merupakan suatu prasyarat. Meskipun demikian, pertumbuhan yang akan kita pulihkan itu haruslah berlandaskan pada fondasi baru yakni kondisi institusi publik 
yang bersih dan kredibel, institusi ekonomi seperti perbankan dan badan usaha yang sehat dan dikelola dengan baik, serta kelengkapan peraturan dan penegakan hukum untuk menjaga mekanisme pasar yang efektif dan berkeadilan. Untuk itu, upaya kita dalam pemulihan dan restrukturisasi ekonomi yang telah dilakukan dalam sepuluh bulan ini akan terus kita jalankan secara konsisten dan dengan disiplin yang tinggi. 
Elemen kedua dalam demokrasi ekonomi adalah kesempatan yang sama bagi seluruh masyarakat untuk ikut menciptakan dan menikmati kemakmuran. Ini terkait erat dengan konsep keadilan ekonomi. Keikutsertaan 
masyarakat dalam proses penciptaan kemakmuran dan menikmati hasil pembangunan di masa lalu memang sangat terbatas, akibat pola pengambilan keputusan dan penguasaan yang sangat sentralistik, disertai praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Koreksi terhadap praktik buruk tersebut perlu dilakukan, dan pelaksanaan desentralisasi kekuasaan akan menjawab permasalahan keadilan, yaitu terciptanya kesempatan ekonomi yang sama bagi seluruh warga negara Indonesia dari lapisan, golongan, dan daerah mana saja. 
Berbagai instrumen untuk melaksanakan tujuan keadilan ekonomi akan terus ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya. Pertama, anggaran negara yang lebih memihak kepada masyarakat miskin dan kelompok ekonomi lemah akan terus ditingkatkan. Pemihakan itu terlihat dalam bentuk alokasi untuk perbaikan mutu sumber daya manusia melalui pendidikan, latihan, dan perbaikan kualitas kesehatan, termasuk perbaikan lingkungan hidup 
serta program jaring pengaman sosial. Sama pentingnya dengan upaya itu, pemerintah akan terus melakukan perbaikan dan pembangunan infrastruktur agar mobilisasi faktor produksi dapat berjalan semakin baik, aman, dan lancar. 
Instrumen lain yang dapat digunakan adalah kebijakan penyaluran kredit dan kebijakan penananam modal. Perbankan yang telah direkapitalisasi agar mengutamakan penyaluran kreditnya pada kelompok ekonomi lemah. Kedua instrumen tersebut akan dikembangkan tanpa melanggar rambu-rambu kehati-hatian, baik pada anggaran negara maupun dalam aturan perbankan. Pada akhirnya upaya pemberdayaan dan pemihakan hanya akan berhasil apabila kesempatan partisipasi masyarakat memang dirancang untuk selalu dibuka seluas-luasnya dan seadil-adilnya dalam pengelolaan kegiatan ekonomi. 
Landasan peraturan dan kepastian hukum harus disiapkan, agar rancangan kebijakan yang ideal dapat terwujud. Unsur terpenting dalam menciptakan kepastian hukum adalah penegakan hukum yang dirasakan 
masih belum memadai dan harus menjadi bagian penting dalam program mewujudkan keadilan bagi masyarakat. Kita bersama-sama perlu memulai dan menyelesaikan tugas berat tersebut, baik dalam menyempurnakan perundang-undangan, membenahi sistim dan lembaga peradilan maupun dalam upaya memberantas kejahatan dan penyelewengan-penyelewengan hukum lainnya. 
Aspirasi masyarakat agar lebih banyak tugas dan fungsi pemerintahan dilimpahkan ke daerah, disertai implikasi keuangannya, akan menjadi tema penting dalam pengelolaan kenegaraan mulai saat ini. Desentralisasi kewenangan dan keuangan ke daerah akan semakin mendekatkan pemerintah kepada masyarakat yang harus dilayaninya. 
Proses itu memerlukan peningkatan kapasitas dan akuntabilitas publik, dan akan menumbuhkan semangat ikut memiliki dan bertanggung jawab dari masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Untuk 
mencegah kemungkinan penyalahgunaan wewenang, kita sedang dan akan menciptakan rambu-rambu obyektif yang diperlukan. Ini penting, agar kepentingan masyarakat terlindungi dan pertanggungjawaban publik dapat 
tercapai. 
Pembangunan kembali perekonomian kita untuk mencapai cita-cita kemerdekaan, dilaksanakan dalam lingkungan global yang terus berubah. Globalisasi ekonomi menghendaki diterapkannya prinsip-prinsip 
universal, seperti pengelolaan yang baik (good governance), penerapan dan perlindungan hak asasi manusia, serta perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup. Karena itu, pengelolaan perekonomian harus berdasar pada aturan yang lebih adil, tegas, dan pasti, demi melindungi kepentingan pekerja, konsumen, dan lingkungan hidup. Kepentingan-kepentingan itu sama bobotnya dan sejalan dengan kepentingan pemerintah sendiri. Pada saat yang sama, ia pun harus seimbang dengan kepentingan investor dan pelaku usaha. 
Saudara Ketua, para Wakil Ketua dan Anggota Dewan yang terhormat, hadirin yang saya muliakan. 
Beban yang dipikul oleh pemerintah ke depan, sangatlah berat. Di atas pundak setiap pemimpin pemerintahan Indonesia saat ini, baik pada tingkat nasional maupun daerah dan desa, terpikul beban untuk mencegah terjadinya atau berlanjutnya proses disintegrasi bangsa, akibat gerakan separatisme dan konflik sosial yang berlarut-larut. 
Karena itu, saya mengharapkan agar para pemimpin pemerintahan itu benar-benar memahami aspirasi masyarakatnya, mencermati setiap perubahan yang terjadi di lingkungannya, serta memelihara 
komunikasinya dengan masyarakat luas. Kita semua harus pandai membangun pertalian batin dengan masyarakat, bermusyawarah dengan semua pihak dalam menyelesaikan berbagai masalah. Namun, apabila semua upaya damai untuk mengatasi konflik gagal tercapai, adalah menjadi kewajiban pemerintah untuk menugaskan alat negara mengambil tindakan tegas sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. 
Selain dari beban politik untuk mencegah disintegrasi itu, pemerintah juga sangat sadar akan tanggung jawabnya untuk segera membawa bangsa dan negara ini keluar dari krisis ekonomi dan keuangan yang sudah 
berlangsung cukup lama. Pemerintah pun tidak lupa akan perannya ke lingkungan pergaulan global secara terhormat, yang juga berarti menyiapkan masyarakat bangsa kita agar mampu mengambil manfaat dari 
globalisasi itu. Ini berarti bahwa perhatian pada pengembangan sumber daya manusia, baik melalui pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maupun melalui perbaikan kondisi kesehatan, harus 
diperbesar. 
Dalam rangka itu semua, saya telah merancang kebijakan restrukturisasi pemerintahan untuk lebih mempertajam fokus dan prioritas kebijakan nasional di berbagai bidang. Di samping untuk mewujudkan implementasi 
otonomi daerah yang akan sepenuhnya efektif pada bulan Januari 2001, restrukturisasi ini juga merupakan langkah yang saya pandang tepat untuk lebih memudahkan pengambilan keputusan dan penetapan kebijakan. 
Beberapa sektor pemerintahan yang di masa lalu terpisah, walaupun fungsi dan wewenangnya berhimpitan, akan ditempatkan di bawah atap yang sama. Restrukturisasi ini juga diharapkan mengakhiri praktik duplikasi kebijakan yang selama ini sulit dihindari akibat adanya dua atau lebih departemen dan instansi yang menggarap bidang yang sama. Inti dari restrukturisasi itu adalah efisiensi administrasi, profesionalisme dalam perumusan berbagai kebijakan, dan efektivitas tindakan operasional dalam mengatasi berbagai masalah. 
Pemerintah pada dasarnya menyadari bahwa dengan implementasi otonomi daerah, bukan saja kewenangan pemerintah nasional mengalami pengurangan, tetapi juga alokasi dana yang akan diterimanya akan lebih 
sedikit dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kenyataan ini mengharuskan dilakukannya perampingan organisasi dan birokrasi, serta penyesuaian alokasi anggaran dan prioritas penggunaannya. Proses restrukturisasi dan perampingan ini akan dilakukan secermat mungkin guna mencegah kemungkinan timbulnya masalah baru yang tidak perlu. Realisasi dari rencana di atas mempersyaratkan menteri dan pejabat yang berkualitas tinggi dan pembagian tugas kepemimpinan pemerintahan yang lebih proporsional dan efektif. Insya Allah dalam waktu dekat, pemerintah hasil restrukturisasi itu akan hadir bersama saudara-saudara. 
Walaupun tekad membangun pemerintahan yang baik melandasi kehadiran kabinet baru tersebut, saya percaya bahwa kiprah dan kualitas pengabdian mereka juga sangat tergantung dari kuatnya dukungan wakil-wakil rakyat di DPR sebagai mitra kerja pemerintah, serta luasnya penerimaan masyarakat terhadap setiap langkah yang akan diambil oleh pemerintah. 
Pemerintahan yang baru itu akan saya bebani tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah-masalah politik, ekonomi, dan sosial yang secara garis besar telah saya kemukakan tadi. Dari setiap pribadi menteri, pemerintah membutuhkan semacam komitmen moral untuk memberi pengabdian terbaiknya demi menyelamatkan kehidupan bangsa di berbagai bidang dan memberi makna pada kemerdekaan yang kita capai dengan susah payah serta pengorbanan yang besar ini. 
Saudara Ketua, para Wakil Ketua, anggota Dewan yang terhormat dan hadirin yang berbahagia. 
Itulah hal-hal yang saya pandang penting untuk saya sampaikan dihadapan sidang yang mulia ini. Mudah-mudahan dengan semangat kebangsaan, kemerdekaan dan demokrasi yang menyelimuti kehadiran kita di gedung ini, kita bisa menciptakan kesepakatan-kesepakatan baru dalam mengoptimalkan pengabdian kita bersama kepada bangsa dan negara RI yang kita cintai bersama. Dirgahayu Republik Indonesia. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa bersama kita, amin. 
Terima Kasih. 
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, 
Presiden Republik Indonesia 


KH Abdurrahman Wahid 

Comments